Artikel dalam blog ini adalah karya asli penulis. Beberapa artikel pernah penulis unggah diblog yang lain sebelumnya, yang pada saat ini blog tersebut telah penulis hapus. Disamping itu, sebagian juga merupakan pindahan tulisan dari web geo.fis.unesa.ac.id mengingat keterbatasan space pada web tersebut. Pembaca diijinkan untuk menyitir artikel dalam blog ini, tetapi wajib mencantumkan nama blog ini sebagai sumber referensi untuk menghindari tindakan plagiasi. Terimakasih

Sunday, November 16, 2014

Pemanfaatan data penginderaan jauh untuk evaluasi desertifikasi batuan karst di Gunungsewu


(disarikan dari naskah asli penulis yang dipresentasikan di PIT Ikatan Geograf Indonesia (IGI) XVII 2014, 15 Nopember 2014 dengan judul Evaluasi laju desertifikasi batuan pada bentang lahan karst Gunungsewu melalui penginderaan jauh)


Perkembangan luas singkapan batuan karst merupakan tanda terjadinya proses desertifikasi batuan pada bentang lahan karst (Silakan baca : Desertifikasi Batuan Karst). Proses desertifikasi batuan karst yang berkelanjutan di Gunungsewu dapat memberikan dampak negatif yang berupa degradasi lingkungan seperti hilangnya air sungai bawah tanah dan banjir bandang di permukaan. Oleh karena itu laju proses desertifikasi ini perlu dipantau dan dievaluasi. Laju desertifikasi yang ditandai oleh bertambahnya singkapan karst dapat terrekam dengan baik melalui data penginderaan jauh.
Data pokok dalam penelitian ini adalah serangkaian citra Landsat 7 ETM+ dan citra Landsat 8 OLI yang diperoleh dari USGS. Data citra terdiri dari Citra Landsat 7 ETM+ bulan Juni tahun 2000, bulan Agustus tahun 2001, Agustus tahun 2002 dan bulan Agustus tahun 2014 pada path 119 row 066.
Saluran yang digunakan adalah saluran biru  yaitu band 1 pada Landsat 7 ETM+ atau band 2 pada Landsat 8 OLI, saluran inframerah dekat yaitu band 4 pada Landsat 7 ETM+ atau band 5 pada Landsat 8 OLI, dan saluran inframerah tengah yaitu band 7 pada Lansat 7 ETM+ dan Landsat 8. Saluran multi spektral 741 dibentuk dari citra Landsat 7 ETM+ dan multi spektral 752 dari citra Landsat 8 OLI. Pada masing-masing citra multispektral tersebut dilakukan proses equalization enhancement agar diperoleh visualisasi citra dengan kondisi yang sama antar tahun citra.
Citra multi spektral ini digunakan sebagai dasar interpretasi dan pembuatan acuan klasifikasi. Jenis klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi beracuan dengan metode minimum distance classification. Kelas klasifikasi yang digunakan adalah tutupan vegetasi, tanah terbuka, karst bertutupan tanah tipis, dan singkapan karst. Identifikasi dari masing-masing kelas klasifikasi dibantu dengan menggunakan citra NDVI dan interpretasi visual pada citra yang diunggah oleh google melalui situs http://wikimapia.org serta aplikasi googleearth.
Analisis spasial statistik dilakukan terhadap citra hasil klasifikasi untuk mengetahui kecenderungan perkembangan dari masing-masing jenis klasifikasi. Hasil analisis ini diwujudkan dalam bentuk citra, tabel, grafik dan deskribsi penjelasannya. Teknik analisis yang digunakan adalah klasifikasi beracuan dengan dibantu analisis spektral melalui NDVI, dan interpretasi multi tingkat melalui citra google. 
Kajian ini menyimpulkan bahwa aplikasi data penginderaan jauh dan teknik klasifikasi beracuan berbantuan NDVI serta interpretasi multi tingkat memberikan hasil yang baik. 
 

Grafik perkembangan luas singkapan batuan karst di daerah penelitian (m2)

Kajian ini juga memberikan temuan bahwa telah terjadi proses desertifikasi batuan karst di wilayah Gunungsewu dengan luasan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Akankah hal ini kita biarkan .....?????

Monday, November 10, 2014

Obtaining information from a satellite image data




Satellite image data is a collection of information about the earth’s surface. The information is represented in the form of series of digital numbers. If it is displayed on the computer screen will show a spatial picture of the earth. Maybe we can get some information by looking at the display. But at other times, it may take a digital processing to obtain such information. This is especially necessary if the analysis is based on the digital value of the image. The information can also be obtained through the analysis of the temporal image, such as land use change analysis. 

Part of the ancient Bengawan Solo from Landsat 8 OLI band 431

The description above gives an understanding of the multiple ways to get information from satellite image data. Briefly, the acquisition of information from an optical image data can be done through an analysis based on :
·  Spectral characteristics
·  Spatial characteristics
·  Temporal characteristics

Spectral characteristics include frequency, reflection dan emission properties. Spatial characteristics include shape and size of the object on the earth surface, view angle of the sensors, texture, site, distribution, etc. Temporal characteristics include change in time and position.

Atmosfer bumi tidak selamanya transparan



Kalau kita melihat ke angkasa, nampak beberapa bagian jernih kebiruan sementara sebagian lainnya mungkin tertutup awan. Keadaan seperti itu adalah satu contoh bahwa atmosfer bumi tidak selalu dalam keadaan transparan. Apa yang kita lihat diangkasa tersebut adalah satu bagian dari efek ruang panjang gelombang yang terganggu oleh berbagai gangguan atmosferik seperti awan tadi.
Transparansi atmosfer sangat penting dipahami dalam penginderaan jauh. Transparansi atmosfer ini dalam penginderaan jauh dipahami sebagai jendela atmosfer (dalam tulisan ini selanjutnya saya akan menggunakan istilah jendela atmosfer). Jika di angkasa kita lihat ada awan, itu artinya bahwa perjalanan cahaya (lebih tepatnya adalah gelombang elektromagnetik) sebagian “terhalang” oleh awan itu. Terhalang di sini dalam konsep penginderaan jauh dipahami dengan peristiwa penyerapan atau hamburan dari gelombang elektromagnetik tersebut . Gelombang elektromagnetik sebagian diserap oleh partikel air, uap air atau kristal es dan lain-lainnya (silakan baca : Partikel atmosferik yang dapat berpengaruh terhadap kualitas citra satelit) untuk penguapan. Sebagian lagi dihamburkan karena secara alamiah gelombang elektromagnetik dapat terpantul secara acak oleh partikel-partikel atmosferik tersebut. Oleh karena itu gelombang elektromagnetik yang datang dari sumbernya (matahari) ataupun yang kembali menuju sensor tidak seluruhnya dapat mencapai tujuan.
Peristiwa langit yang berwarna biru itu adalah bukti bahwa telah terjadi penghamburan panjang gelombang biru oleh molekul-molekul rayleigh. Hamburan ini terjadi pada lapisan awan tinggi karena keberadaan molekul rayleigh tersebut berada pada lapisan awan yang tinggi (silakan baca : Gangguan atmosferik yang dapat berpengaruh terhadap kualitas citra satelit). Sementara itu, jika terdapat awan, maka awan terlihat putih. Hal ini dikarenakan oleh hamburan oleh partikel awan secara acak terhadap seluruh panjang gelombang tampak (biru hingga merah). Hamburan ini dikenal dengan istilah hamburan non selektif (non selective scattering), dimana seluruh panjang gelombang dengan "tidak pandang bulu" akan dihamburkan oleh partikel awan tersebut. Akibatnya seluruh panjang gelombang itu membaur dan memberikan efek warna putih di mata kita. Sebaliknya, jika partikel awan terdiri dari uap air yang memiliki ukuran butir lebih besar jadi panjangnya sebuah gelombang elektromagnetik seperti embun atau kristal es, maka yang terjadi adalah proses penyerapan. Sebagian besar gelombang elektromagnetik tersebut akan diserap sehingga tidak ada yang berhasil menembus awan tersebut. Efek yang terlihat oleh mata kita adalah gumpalan warna hitam seperti mendung di angkasa yang sering kita lihat itu.

Sumber gambar : Liang, 2002
 Jendela atmosfer dalam konsep penginderaan jauh tidak terbatas pada rentang panjang gelombang tampak seperti uraian di atas, namun diperluas hingga mencapai rentang gelombang infra merah jauh dan radar. Dalam rentang yang panjang tersebut, uap air, karbon dioksida dan oksigen merupakan agen utama “penghalang” perjalanan panjang gelombang. Uap air adalah agen penghalang dominan dibanyak tempat seperti pada kisaran panjang gelombang 1400nm, 1800nm, dan 2500nm. Pada kisaran tersebut atmosfer tidak dapat tertembus karena panjang gelombang terserap oleh uap air tersebut. Gas CO2 dominan sebagai penghalang pada kisaran 1,4µm dan 2µm. Pada kisaran tersebut panjang gelombang mengalami gangguan sehingga tidak dapat mencapai permukaan bumi secara keseluruhan. Sementara itu, pada gelombang pendek (Ultra Violet / UV) permukaan bumi dilindungi oleh Ozone (O3) (Subhanallah....., sungguh segala penciptaan-Mu tidak ada yang sia-sia).
Setiap satelit selalu memanfaatkan celah atmosfer tersebut untuk perolehan datanya. Beberapa sensor satelit seperti MODIS bahkan menggunakan rentang-rentang yang sempit yang dipilih pada celah-celah jendela atmofer tersebut sehingga diperoleh suatu citra hiperspektral. Sementara itu citra satelit seri Landsat menggunakan jendela atmosfer pada panjang gelombang tampak hingga sedikit perluasannya hingga infra merah thermal.


Liang, S., 2002. Atmospheric correction of optical remote sensed imagery. Bhan presentasi pada APEIS Capacity Building Workshop on Integrated Environmental Monitoring of Asia-Pacific Region. Beijing. China.